SATU WADAH SERIBU KISAH
Prakata
Dalam rangka serah terima tugas pengelola PPU dari Sr. Hilaria Sinaga, KYM kepada Sr. Florida Mai, KYM maka RP. Hiasintus Sinaga, OFMCap selaku pastor paroki bersama Sr. Hilaria Sinaga dan Bapak Bilman Silalahi mengumpulkan data yang berkaitan dengan PPU Parapat. Kita meminta kesediaan Sr. Hilaria menguraikan informasi yang Beliau ketahui dan pengalamannya sendiri dalam mengelola PPU ini. Sementara itu kita mencoba membolak-balik arsip dan bertanya kepada orang-orang yang tahu-menahu tentang keberadaan PPU dari awal sampai Oktober 2016.
Sumber utama yang berhasil kami temukan adalah tulisan RP Daniel Sitanggang, OFMCap bersama RP Roy Nababan OFMCap. Pada tahun 2014 ketika masih frater yang sedang kuliah di tingkat VI (post-S1) Sekolah Tinggi Filsafat Teologi, kedua pastor ini pernah mendapat tugas untuk membuat tulisan tentang sejarah dan keberadaan PPU Parapat. Setelah membaca dengan teliti tulisan Beliau dan berkonsultasi langsung dengan catatan-catatan kaki yang dibubuhkan maka kami melihat bahwa data-data yang diuraikannya terutama yang berkenaan dengan sejarah awal sangat baik dan objektif sekaligus dapat terpertanggungjawabkan. Kemudian di sana sini kami menambahkan data yang berkaitan dengan pengelolaanya.
RP Daniel Sitanggang dan RP Roy Nababan menulis sebagai berikut: Karel Stenbrink (ahli sejarah) mengatakan: “Jika tidak mengetahui sejarah, kita cenderung mengulangi kekeliruan-kekeliruan masa lampau. Pengenalan akan sejarah membuat kita mampu menanggapi situasi sekarang secara bijak dalam bingkai pemikiran yang luas”. Kiranya pesan yang dimaksud jelas yakni kita mesti terus-menerus mempelajari sejarah. Pengetahuan sejarah yang benar akan melahirkan generasi yang tahu masa lalu, relasi, siapa pendahulunya, prestasi apa yang telah dicapai, sebab-sebab kegagalan dan bagaimana cara mengatasinya. Singkatnya, mengerti sejarah berarti kita paham siapa diri kita sebenarnya.
Selain untuk memenuhi tuntutan akademis, lahirnya tulisan ini juga didorong oleh kesadaran akan pentingnya mengenali sejarah secara baik dan benar. Pelukisan aneka kejadian di masa lampau, bukanlah sekedar pementasan rentetan peristiwa yang tanpa makna. Masing-masing peristiwa saling terkait dan memancarkan makna baru bagi kita kini dan di sini yakni pengembanan pelayanan pastoral parokial.
Penulis sadar bahwa dirinya bukanlah sekelompok sejarahwan yang sungguh menguasai tekhnik penulisan sejarah yang baik dan benar. Itu berarti bahwa apa yang ditulis dalam tulisan ini masih jauh dari sempurna. Yang jelas, para penulis berusaha memaparkan fakta dan peristiwa seobjektif dan sesetia mungkin. Sumber yang dipakai tergolong kuat karena didasarkan pada arsip primer yang tersedia di kantor arsip PPU-Parapat dan saksi mata yang terpercaya.
Sebagai penyusun, tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada Pastor Paroki St. Fidelis Parapat yang memberi izin penulisan dan izin masuk kantor arsip PPU. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Sekretaris Paroki St. Fidelis Parapat yang membantu kami memilah-milah arsip yang ada. Para mantan pastor paroki dan saksi mata yang masih hidup juga sungguh membantu dan mengarahkan jalan pikiran kami dalam penyusunan tulisan ini. Karena itu, layak kami haturkan terima kasih. Kami juga sampaikan terima kasih kepada dosen Sejarah Gereja Fakultas Filsafat dan Teologi St. Yohanes program Post-S1 yang membimbing dan mengajari tekhnik-tekhnik penulisan sejarah.
Akhir kata, semoga tulisan kecil ini bermanfaat bagi siapa saja yang ingin dan mau membacanya. Segala usul, saran, dan kritik konstruktif dari pembaca pastilah akan semakin menyempurnakan tulisan ini. Terima kasih.
Pengantar
Gereja sangat membutuhkan umat beriman yang militan dan sanggup hidup dalam aneka ragam situasi dan kondisi dewasa ini. Gereja juga membutuhkan orang-orang Kristen yang mampu menterjemahkan warta Kristen dalam segala ragam dan segi kehidupan. Hal ini tak mungkin terjadi begitu saja tanpa suatu usaha yang jelas dan terencana. Umat beriman harus belajar dan terus-menerus mendalami imannya. Untuk dapat belajar dan mengembangkan iman dengan baik dibutuhkan antara lain suasana dan tempat yang memadai. Pembinaan iman umat dan pengembangan aneka segi kehidupan yang lain tak cukup hanya di wisma paroki saja, tak cukup satu atau dua jam saja. Program pembinaan harus terencana, terjadwal, punya arah yang jelas, berkelanjutan dan dipusatkan di satu tempat yang memadai.
Paroki St. Fidelis Parapat adalah sebuah paroki yang sangat beruntung. Paroki ini telah memiliki sarana pembinaan umat yang lengkap sejak belasan tahun yang lalu. Namanya adalah Pusat Pembinaan Umat KAM (PPU KAM) Paroki St. Fidelis Sigmaringen Parapat, berada di Jln. Merdeka, no. 53A Parapat dengan nomor telepon (0625) 441932. Gedung yang megah ini diberkati dan diresmikan penggunaannya pada tanggal 20 Mei 2001. Dengan diresmikannnya gedung baru ini, pembinaan umat dan segala urusan parokial semakin terorganisir dengan baik dan dapat dilaksanakan secara maksimal.
Tentulah pendirian gedung pembinaan umat ini tak lepas dari usaha gigih dan kerja keras para pendahulu. Usaha dan kerja keras itu ingin dilihat sekaligus dikenang. Kenangan bukan hanya sekedar ingatan sentimental belaka akan masa lampau tetapi terutama sebagai panduan bagi siapa saja yang telah mengalami pembinaan iman dan pembentukan diri sebagai umat beriman Katolik di PPU KAM Parapat. Inilah yang mau diperjuangkan lewat penulisan sejarah berdirinya Pusat Pembinaan Umat KAM Paroki Parapat.
Kota Kecil di Pinggiran Danau Toba
Parapat (disebut juga Prapat), adalah sebuah kota kecil yang menjadi kota tujuan wisata di tepi Danau Toba. Secara geografis kota ini berada di wilayah Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara, berjarak sekitar 48 km dari kota Pematangsiantar. Parapat menjadi salah satu titik persinggahan penting dari jalan raya lintas Sumatera bagian Barat yang menghubungkan Medan dengan Padang. Penduduk yang menghuni kota ini cukup beraneka ragam, tetapi suku yang paling dominan berasal dari suku Batak Toba. Selain menekuni bidang pertanian, para penduduk juga bergerak di bidang pariwisata seperti usaha penginapan, restoran, sewa kapal (speedboat), travel guide, dan toko pakaian khas Parapat.
Sebagai daerah wisata, Parapat sangat terkenal dengan keindahan Danau Tobanya. Bahkan di era tahun 1990-an, tepatnya sebelum tanun 1997, kota ini menjadi destinasi favorit para turis luar negeri, terutama turis yang berasal dari Belanda, Malaysia, Singapura, Jerman, Jepang, Korea, bahkan ada juga yang berasal dari Amerika. Perkembangan pariwisata ini sering melahirkan kekerabatan baru antara penduduk Parapat yang beruntung dengan keluarga turis. Beberapa orang gadis Parapat berhasil dipinang para turis dan dijadikan sebagai istri. Mereka diboyong ke luar negeri dengan tetap menjaga kontak dengan keluarga si gadis di Parapat. Namun, sejak gejolak krisis moneter tahun 1997 menghantam perekonomian Indonesia, kota ini ditinggalkan para turis dan beralih ke destinasi yang lain.
Selain geliat wisata, ternyata iman Katolik juga telah lama “menggarami” kota ini. Pada tahun 1930-an, beberapa komunitas umat Katolik telah tersebar di sekitar kota ini, yakni: komunitas Sualan, komunitas Girsang, komunitas Ajibata dan komunitas Motung. Keempat komunitas ini didirikan dari Pematangsiantar dan dengan demikian berinduk pada Paroki St. Laurentius, Jln. Sibolga.
Dari keempat komunitas umat Katolik di atas, komunitas Sualan menjadi cikal-bakal Gereja Katolik Parapat. Tahun berapa persis komunitas Sualan berdiri, tidak ditemukan dalam arsip-arsip. Yang jelas, pada tanggal 5 Nopember 1939, terdapat 25 orang dipermandikan di komunitas Sualan. Karena itu dapat ditarik kesimpulan sementara yakni komunitas Sualan dan ketiga komunitas umat Katolik lainnya berdiri antara tahun 1931 sampai tahun 1939.
Pada tahun 1940-an, Jepang menduduki Indonesia. Semua imam dan suster Belanda ditahan dan dipulangkan secara paksa ke negara asalnya. Sesudah masa internir berakhir, pada tahun 1952, komunitas Sualan dihidupkan kembali. Pada tahun 1953, P. Beatus Jenniskens OFMCap yang sebelumnya tinggal di Tomok, telah melirik sebuah rumah terlantar di Parapat, yakni bungalow Neopus. Bungalow ini kemudian dibeli dari seorang tuan yang berkebangsaan Belanda. Maka pada tanggal 5 September 1954 secara resmi berdirilah Stasi Parapat sebagai ganti komunitas Sualan. Pendirian stasi baru ini ditentang oleh gereja HKBP dengan melayangkan surat keberatan kepada Asisten Wedana di Tanah Jawa. Surat itu dibatalkan karena ditengarai penuh dengan sentimen pribadi. Kurang lebih setengah tahun kemudian, pada tanggal 1 April 1955, pusat paroki dipindahkan dari Tomok di Pulau Samosir ke Parapat. Sejak saat itu, stasi Parapat menjadi stasi induk dari Paroki Parapat.
Tak lama sesudah pemindahan pusat paroki dari Tomok ke Parapat, gedung gereja juga dirasa terlalu kecil sebagai gereja induk paroki dan sebagai biara Kapusin. Maka pada tanggal 17 Oktober 1955, P. Beatus Jenniskens meminta kepada Vikaris Apostolik Medan, Mgr. Ferrerius van den Hurk OFMCap untuk memperbesar gedung gereja. Izin pun diberikan. Sebagian besar biaya pembangunannya datang dari keluarga P. Jenniskens. Dia dibantu oleh P. Siegfried van Dam dan Bruder Felix Daeli yang menjadi anggota komunitasnya di Biara Kapusin Parapat pada waktu itu.
Situasi Paroki Parapat hingga 1998 dan Motivasi Awal Pendirian PPU
Paroki Parapat berdiri sejak tahun 1954. Pada mulanya wilayah paroki ini cukup luas, tetapi sekitar tahun 1972 beberapa stasi Paroki Parapat bergabung ke Paroki St. Laurentius Jln. Sibolga dan Paroki St. Yosef Jln. Bali, Pematangsiantar. Pada tahun 1998, Paroki Parapat memiliki 29 stasi dengan perincian 1722 Kepala Keluarga dan 12.000 jiwa. Jumlah umat terus bertambah. Kendati pun perkembangan umat cukup pesat, pusat paroki sebagai tempat pembinaan umat masih belum ada. Semua aktivitas administrasi paroki masih menumpang di Biara Kapusin St. Fidelis, Jln. Sirikki no. 6, Parapat. Keadaan ini sungguh menyulitkan dalam melaksanakan aneka kegiatan yang berkaitan dengan paroki. Jika Paroki Parapat mau maju dan berkembang, maka sistem menumpang di Biara Kapusin Parapat tak mungkin terus dipertahankan. Badan Kerjasama Propinsi Kapusin (BKS PROKAP) juga berpendapat bahwa aktivitas pastoral Paroki Parapat sering kali mengganggu biara sekaligus tumpang tindih dengan kegiatan biara.
Paroki Parapat memiliki aneka kegiatan yang dibagi dalam dua bagian besar, yakni kegiatan rohani dan non-rohani . Kegiatan ini sering terjadi di kaki lima (teras) atau di lapangan biara karena ruangan sedang dipakai oleh para frater untuk studi.
Di sisi lain, umat Katolik di Paroki Parapat sudah cukup lama merindukan satu sarana fisik sebagai tempat mereka melaksanakan pembinaan dan aktivitas parokial. Kerinduan ini sangat beralasan, sebab dalam situasi tanpa fasilitas pembinaan yang memadai, pertumbuhan dan perkembangan umat akan terhambat.
Sebagaimana yang terjadi, Parapat telah berubah menjadi kota tujuan wisata yang penting di wilayah Sumatera Utara. Para pengunjung datang berbondong-bondong untuk berlibur menikmati pemandangan Danau Toba, kursus, retret, dan lain-lain. Umat Katolik dari luar Paroki Parapat seperti Pematangsiantar, Medan, Tebingtinggi, dan Kabanjahe juga datang dan mengadakan retret dan pertemuan di Parapat. Keterbatasan fasilitas Paroki Parapat membuat Paroki Parapat tak sanggup menerima mereka di gedung milik Katolik.
Keinginan untuk mengusulkan pendirian sarana fisik pembinaan umat juga diperkuat oleh tersedianya tanah kosong milik paroki seluas 4.432 m persegi. Tanah strategis ini berlokasi di antara Jln. Joseph Sinaga dan Jln. Merdeka dan merupakan hasil jerih payah umat stasi induk, pastor dan umat se-Paroki Parapat.
Semua usaha yang dilakukan oleh umat Parapat bermuara pada satu cita-cita dan harapan yakni pembangunan sarana fisik pembinaan umat. Sebagai bentuk dukungan konkrit, pada tahun 1990, Dewan Paroki juga mengumpulkan dana sebesar Rp. 32.000.000. Dana ini merupakan sumbangan umat yang diperoleh dari swadaya, pesta pembangungan dan penyumbang setempat.
Sejarah Tanah PPU
Seperti sudah diungkapkan di atas, tanah yang menjadi lokasi bangunan PPU didapatkan melalui usaha yang panjang dan melelahkan. Menurut bapak M. H. Sinaga yang pernah mendengarkan cerita tokoh umat terdahulu, tanah PPU Parapat dibeli oleh Pastor Beatus Jenniskens, OFMCap dari Op. Gokman Sinaga, penduduk yang telah lama tinggal di sekitar Jln. Merdeka. Pembelian tanah dilakukan melalui perantaraan nama Pendeta Kenan Hutabarat . Transaksi tersebut terjadi sekitar tahun 1960-an. Bapak MH. Sinaga menambahkan bahwa tanah tempat PPU yang ada saat ini sudah lebih dulu dibeli dari pada tanah biara Novisiat Kapusin.
Tujuan awal dari pembelian tanah tersebut ialah untuk menjadikannya sebagai lokasi gedung gereja stasi Parapat. Tetapi, pembangunan gedung gereja tidak pernah terlaksana karena bentuk tanah yang labil dan berbukit-bukit. Karena itulah tanah yang ada dibiarkan begitu saja dalam waktu yang cukup lama. Di luar dugaan, tanpa sepengetahuan pastor Jennis dan pastor paroki yang menggantikannya, keluarga bapak Gokman Sinaga kembali mengusahakan tanah yang telah dijualnya dan kemudian mengklaim bahwa tanah itu adalah milik keluarga Gokman Sinaga. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1988. Melihat situasi tersebut, bersama DPP, P. Higynus Silaen OFMCap yang menjadi pastor paroki di Parapat pada saat itu, meninjau lokasi dan berencana menanami pohon. Hal ini dilakukan sebagai bentuk rasa kepemilikan terhadap tanah paroki yang diklaim oleh keluarga Gokman Sinaga.
Kendati ada aksi yang dilakukan oleh pastor paroki dan umat Katolik Paroki Parapat, keluarga Gokman Sinaga tetap saja mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya dan bahkan mengancam akan melakukan kekerasan kepada pihak Katolik bila tanah tersebut diambil alih dari keluarganya. Meski ada ancaman, P. Hyginus Silaen tidak mundur. Dia mendapat dukungan dari seluruh umat stasi Parapat dan stasi Ajibata untuk segera mengusahakannya. Mereka beramai-ramai menuju Jln. Merdeka dengan membawa parang dan cangkul, bukan untuk menebas pihak yang menebarkan ancaman, tetapi untuk mengusahakannya dan menegaskan kembali bahwa tanah tersebut adalah milik paroki Parapat. Situasi semakin memanas dan bahkan hampir mengarah ke perkelahian antara pihak paroki dengan keluarga Gokman Sinaga.
Melihat situasi semakin memanas, di hadapan umat yang hadir, Pastor Higynus Silaen menegaskan bahwa masalah persengketaan ini lebih baik dibawa ke jalur hukum dari pada harus ada korban jiwa. Pada akhir tahun 1988, Pastor Higynus Silaen berusaha mencari arsip-arsip yang berhubungan dengan tanah paroki Parapat di kuria KAM. Aneh, surat tanah tidak ditemukan. Barulah pada tahun 1989, surat tanah dapat ditemukan. Menurut penuturan M. H. Sinaga, kemungkinan besar arsip tersebut dikirimkan dari Belanda. Setelah arsip ditemukan, akhirnya proses hukum perdata pun dilakukan. Umat paroki turut berpartisipasi mengumpulkan uang untuk biaya perkara di pengadilan. Atas bantuan seorang pengacara dari Jakarta yang juga umat Katolik, ketua hakim pengadilan memutuskan bahwa tanah tersebut adalah milik dari atas nama Jennis yang diperoleh dengan pembelian dari Kenan Hutabarat.
Kendati kasus tanah sudah diputuskan pengadilan, keluarga Gokman Sinaga masih tetap mengakui bahwa tanah tersebut adalah milik keluarga Sinaga. Barulah pada tahun 1990 keluarga Gokman menarik berkas perkaranya dan mengakui bahwa tanah tersebut adalah milik “Katolik”. Sebagai bentuk pengakuan dari keluarga Gokman Sinaga, mereka memohon agar batas awal yang diputuskan pengadilan digeser sekitar 2 m dari rumahnya, karena batas tanah awal mengenai rumah mereka. Pastor Alfonsus Simatupang, yang menjadi astor paroki pada saat itu, memenuhi permintaan tersebut. Bersama pengurus DPP, Pastor Alfonsus dan disaksikan keluarga Gokman Sinaga membuat batas yang baru.
Tahun 1997, Pastor Nelson Sitanggang membaharui arsip tanah PPU dengan memperhatikan batas tanah yang dimohonkan keluarga Gotman Sinaga. Oleh karena itu, arsip tanah PPU yang baru atau yang ada saat ini diatas-namakan oleh Drs. Nelson Sitanggang.
Rencana yang Berlangsung Lama
Rapat dan pertemuan untuk membicarakan rencana pembangunan pusat pembinaan umat di Paroki Parapat sudah berlangsung lama. Sejak dewan paroki yang baru dilantik pada tanggal 10 Agustus 1991, mereka sudah mengadakan rapat sebanyak tiga kali. Pada pertengahan Oktober 1991, Dewan Paroki Parapat bersama Dewan Stasi (para voorganger) telah membicarakan tujuan penggunaan tanah yang telah dimenangkan oleh Paroki Parapat yang berlokasi di Jln. Merdeka. Rapat menyetujui agar tanah tersebut dipakai sebagai pusat paroki. Rapat kedua terlaksana pada tanggal 17-18 Januari 1992. Kesimpulan yang diambil adalah agar seluruh umat Paroki Parapat dilibatkan dalam pembangunan gedung pusat pembinaan umat. Rapat juga menyetujui supaya setiap keluarga menyumbangkan uang kepada Dewan Paroki sebanyak Rp. 10.000 per kepala keluarga. Sumbangan yang besar ini harus sudah lunas dalam jangka waktu dua tahun. Ternyata, dalam perjalanan waktu, tak satu pun melunasi sumbangan tersebut. Kemudian pada tanggal 4 dan 5 September 1992, Dewan Paroki bersama Dewan Stasi kembali mengadakan rapat dan memutuskan untuk tetap menagih uang Rp 10.000 dari setiap kepala keluarga. Peserta rapat juga memutuskan rencana pesta pembangunan tahap pertama jatuh pada tahun 1993. Langkah-langkah yang harus ditempuh adalah setiap rayon mengadakan pesta pembangunan di rayon masing-masing. Setiap rayon membentuk panitia pembangunan sekitar bulan Juni 1993.
Menurut penuturan Bapak Parulian Silalahi (Sekretaris Paroki Parapat tahun 1995-2000), pada masa kepemimpinan P. Alfonsus Simatupang OFMCap sebagai Pastor Paroki Parapat, pembinaan dan pertemuan-pertemuan umat paroki mengalami peningkatan. Aula biara novisiat yang dipakai dalam pertemuan paroki selama ini tidak memadai lagi untuk menampung pertemuan-pertemuan, terutama jika pertemuan-pertemuan tersebut harus bermalam. Kantor Paroki yang hanya berbatas sekat dengan aula biara dianggap tidak layak lagi difungsikan sebagai kantor yang melayani aneka kebutuhan umat paroki. Dari situasi yang sangat memprihatinkan ini, muncul ide Dewan Paroki Parapat untuk memohon kepada Pimpinan Persaudaraan Kapusin agar diberi izin merenovasi aula biara menjadi dua lantai. Pada tahun 1992, Dewan Pastoral Paroki dan bersama Pastor Paroki mengirim surat kepada BKS PROKAP di Indonesia. BKS Prokap menanggapi bahwa permohonan Dewan Pastoral Paroki dan Pastor Paroki merupakan permohonan yang sulit diputuskan, karena hal itu akan mengalami masalah di kemudian hari antara keuskupan dengan biara Kapusin .
Awal tahun 1993, Dewan Pastoral Paroki (DPP) dan bersama Pastor Paroki merencanakan pembangunan kantor paroki dan gedung serba-guna di tanah paroki yang terletak di Jln. Merdeka. Rencana tersebut tidak terealisasi karena minimnya dukungan keuskupan. Selain itu, dana paroki juga belum mencukupi. Rencana besar ini dibiarkan mengendap begitu saja. Antara tahun 1993 – 1996 menjadi tahun “hening” untuk rencana pembangunan kantor paroki.
Sesudah P. Alfonsus meninggalkan hiruk-pikuk Parapat, P. Nelson Sitanggang, OFMCap masuk kota dan menjadi Pastor Paroki St. Fidelis terhitung sejak tanggal 25 Januari 1996. Bulan Februari tahun yang sama, terjadi serah terima jabatan pastor paroki dari P. Alfonsus kepada P. Nelson. Banyak umat yang hadir menyaksikan serah terima tersebut. Pada saat itu juga diserahkan uang sebesar Rp. 17.000.000,- kepada P. Nelson. Uang tersebut merupakan dana pembangunan PPU di Jln. Merdeka yang berasal dari hasi lelang dan sumbangan-sumbangan saat peletakan batu pertama yang dilakukan oleh P. Alfonsus pada saat dia menjabat sebagai pastor paroki beberapa tahun sebelumnya.
P. Nelson menyaksikan bahwa segala pelayanan kepada umat masih mengandalkan sarana dan fasilitas Biara Kapusin Parapat sementara pembangunan sarana fisik pembinaan umat masih sebatas peletakan batu pertama. Kenyataan ini mendorongnya untuk berbicara dengan BKS Prokap supaya diizinkan membangun kantor paroki di depan aula biara sebab kantor di samping ruang rekreasi saudara tua di biara tidak memadai lagi. Pada saat itulah P. Ludovikus Simanullang, OFMCap (Sekretaris BKS Prokap waktu itu) menganjurkan supaya rencana pembangunan yang berkaitan dengan pengembangan paroki dilaksanakan di tanah paroki yang terletak di Jln. Merdeka.
Tanpa menunggu waktu lebih lama, pada tahun 1997, rencana pun dimatangkan. Kantor paroki, aula dan ruang kerja pastor akan segera dibangun. Dewan paroki meminta bantuan Pertukangan Katolik KAM di Jln. Narumonda-Pematangsiantar untuk menyiapkan gambar dan jumlah biaya yang akan diajukan ke komisi keuangan KAM. Dari hasil perincian pihak Pertukangan Katolik KAM, pembangunan paroki akan menghabiskan biaya sebesar Rp. 40.000.000,- sementara dana yang tersedia di kas paroki waktu itu berjumlah Rp. 19.000.000,-. Dewan paroki mengirimkan proposal kepada Komisi Keuangan KAM dengan harapan permohonan akan dikabulkan. Pada bulan Nopember 1997, pembangunan di Jln. Merdeka dimulai lagi seraya berharap komisi keuangan segera menyuntikkan dana segarnya. Seperti halilintar menyambar di siang bolong, permohonan Paroki Parapat tidak dikabulkan, bahkan mereka dituduh bertindak nekat sebab telah memulai pembangungan tanpa seizin komisi keuangan KAM. Pihak Paroki Parapat berkelit dengan memberikan alasan yakni, pertimbangan akan terjadi krisis moneter, harga bahan bangunan akan meningkat dan situasi Biara Kapusin Parapat yang kurang kondusif dalam pelayanan umat. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa sebab komisi keuangan sudah memutuskan tidak akan membantu kami”, demikian P. Nelson mengisahkan.
Dalam situasi serba tak pasti sejak tahun 1997, P. Nelson memberanikan diri berbicara dengan P. Elias Sembiring, OFMCap (Minister Propinsial Kapusin Propinsi Medan). P. Nelson menerangkan semua persoalan prasarana Paroki Parapat yang mereka hadapi secara jujur dan meminta petunjuk dari Propinsial. Propinsial, P. Elias mengusulkan supaya Pastor Paroki Parapat dan Dewan Paroki mengajukan proposal kepada Missie Prokuur Capucijnen Belanda, tentu dengan rekomendasi Minister Propisial Kapusin Propinsi Medan dan Uskup Agung Medan. Setelah berbicara dengan P. Wiro van Diemen, OFMCap (Konsul Belanda di Medan), proposal diperbaiki dan bukan lagi meneruskan pembangungan yang sudah dicekal tetapi membangun sungguh-sungguh sarana pembinaan umat yang lebih besar dan baik. Pihak Missie Prokuur menyetujui permohonan pembangunan dan berjanji akan memberi bantuan yang diperlukan.
Pada tanggal 25 September 1998, Komisi Keuangan KAM yang terdiri dari P. Joseph Rajagukguk, P. Anselmus, dan Br. Anianus Snik kembali membicarakan rencana pembangunan PPU KAM di wilayah Paroki Parapat. Pada waktu yang tidak terlalu lama, mereka juga meninjau lokasi tempat berdirinya PPU dengan luas tanah 4.432 m persegi di Jln. Merdeka no. 53A, Parapat.
Bentuk Bangunan yang Diharapkan
Dalam sebuah artikel kecil yang disusun oleh P. Alfonsus Simatupang, OFMCap, dikatakan bahwa Parapat sebagai kota turis menjadi incaran dan tujuan setiap orang yang hendak berlibur, kursus, retret dan lain-lain. Karena itu, Paroki Parapat layak memiliki gedung yang bisa digunakan untuk pembinaan umat. Dewan Paroki telah mengadakan rapat untuk membahas rencana pembangunan sarana fisik bagi Paroki Parapat. Diputuskan juga bahwa gedung yang akan dibangun dapat digunakan secara serba guna, misalnya pertemuan, rapat, serta tempat istirahat bagi tamu-tamu yang datang dari luar. Dewan Paroki mengusulkan beberapa unit bangunan, yakni:
Aula/ruang serba guna sebagai tempat pertemuan (pembinaan) dengan kapasitas 700 orang lebih dan dapat di-setting bila jumlah peserta kecil; Penginapan (ruang tempat tidur) untuk 50-60 orang, yang bersifat umum bertingkat dan bersifat khusus untuk awam; Dapur; Ruang makan; Kantor paroki dan kantor pengembangan sosial ekonomi; Ruang doa (tidak baik aula dijadikan sebagai ruang doa).
Dalam wawancara dengan Bapak M. H. Sinaga dan R. Barutu, mereka menuturkan bahwa Missie Prokuur Capujicnen Propinsi Belanda yang menjadi donatur Paroki Parapat memberikan dua pilihan kepada Paroki Parapat yakni, pertama, Missie Prokuur bersedia memberi dana bagi pembangungan gedung gereja; atau yang kedua, dana yang dikeluarkan diperuntukkan bagi pembangunan tempat pembinaan umat. Akhirnya, pilihan pun jatuh kepada pembangunan tempat pembinaan umat yang kemudian diberi nama Pusat Pembinaan Umat.
Surat Izin dari Pihak Pemerintah
Pada tanggal 1 Februai 1998, Pastor Nelson Sitanggang, OFMCap mengirimkan suratnya kepada Drs. Djabanten Damanik, Kepala Daerah Tingkat II Simalungun. Surat tersebut berisi permohonan izin mendirikan bangunan rumah pastor, kantor paroki, ruang rapat, gudang dan aula seluas 363,85 m persegi yang terletak di Jln. Merdeka, Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, DATI II Simalungun. Bupati Simalungun melayangkan surat balasan beserta dengan surat keputusan Kepala Daerah Tingkat II Simalungun pada tanggal 12 Maret 1998. Surat balasan itu berisi izin mendirikan bangunan rumah pastor, kantor paroki, ruang rapat, gudang dan aula.
Dinas Cipta Karya Pemerintah Kabupaten Simalungun juga segera mengeluarkan Surat Izin Mendirikan Bangunan atas nama P. Nelson Sitanggang, OFMCap. Surat yang bertanggal 5 Maret 1998 itu berisi pernyataan bahwa rencana pembangunan rumah pastor, kantor paroki, ruang rapat, gudang dan aula paroki yang berlokasi di Jln. Merdeka, Kecamatan Girsang Sipanganbolon secara tekhnis telah memenuhi syarat tata kota. Karena itu, pihak Dinas Cipta Karya tidak menaruh keberatan atas permohonan yang dimaksud dan berharap pembangunannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan.
Masalah Biaya
Rapat antara Komisi Keuangan KAM dengan Dewan Paroki Parapat memutuskan bahwa pelaksana pembangunan kantor paroki, ruang penginapan perserta dan aula Paroki Parapat diserahkan kepada Pusat Tekhnik Katolik (PTK) yang berkedudukan di Pematangsiantar. Br. Anianus bertugas sebagai arsitek bangunan sekaligus menjadi kepala pertukangan. Dalam perjalanan waktu, Br. Anianus Snik OFMCap belum mampu menyelesaikan gambar dan menentukan model bangungan yang diharapkan. P. Nelson Sitanggang, OFMCap datang dan mengingatkannya beberapa kali, tetapi Bruder ahli bangunan ini mengatakan “sabar”. Barulah pada tanggal 18 Januari 1999, gambar/denah bangunan dan taksasi biaya selesai dan dapat dikirimkan ke Komisi Keuangan KAM untuk dipelajari. Anggaran biaya menyeluruh dikerjakan oleh Br. Felix Tumanggor, OFMCap. Besaran biaya yang dibutuhkan setelah terjadi rekapitulasi global adalah Rp 787.880.000,-
Meskipun rencana pembangunan kantor paroki, ruang penginapan peserta dan aula baru diputuskan secara final dalam rapat yang terjadi pada bulan September 1998, tetapi sebelum bulan Juni 1998, Pastor Paroki Parapat, P. Nelson Sitanggang, OFMCap sudah melakukan korespondensi dengan pihak Missie Prokuur Capucijnen Propinsi Belanda mengenai rencana pembangunan tempat pembinaan umat di Paroki Parapat. Bentuk korespondensi lebih dititikberatkan kepada permohonan bantuan dana dari Propinsi Belanda. Hal ini tampak dalam surat balasan dari P. Huub Boelaars, OFMCap sebagai direktur Missieprokuur kepada P. Nelson Sitanggang, OFMCap. Surat balasan P. Huub Boelaars tersebut berisi kesediaan Propinsi Belanda menggelontorkan dana sumbangan sebesar f. 75.000 untuk mendukung pembangunan kantor paroki dan aula Paroki Parapat.
Pada tanggal 21 Januari 1999, P. Nelson Sitanggang, OFMCap menyurati Komisi Keuangan KAM. Surat tersebut berisi hal-hal yang menyangkut pembangungan kantor paroki, ruang penginapan peserta dan aula Paroki Parapat. Di dalam surat diingatkan kembali bahwa pada tanggal 25 September 1998, Komisi Keuangan KAM bersama dengan Dewan Paroki Parapat telah melaksanakan rapat seputar rencana pembangunan tempat pembinaan umat di Parapat. Rapat yang diadakan di Biara Kapusin Parapat tersebut secara sah menyetujui pembangungan sarana fisik untuk Paroki St. Fidelis Parapat, yakni kantor paroki, ruang penginapan untuk peserta dan aula. Surat juga menandaskan bahwa Pastor Paroki bersama Dewan Paroki Parapat sangat membutuhkan bantuan dana dari Komisi Keuangan KAM.
Barulah pada bulan Februari 1999 Komisi Keuangan KAM mengadakan rapat anggaran. Paroki Parapat mendapat subsidi dana dari KAM untuk pembangungan sarana fisik paroki sebesar Rp 170.000.000,-
Pada tanggal 3 Februari 1999, P. Nelson Sitanggang, OFMCap mengirimkan surat kepada P. Huub Boelaars sebagai direktur Missie Prokuur Kapucijnen Propinsi Belanda. Di dalam surat, P. Nelson melampirkan jumlah biaya pembangunan pusat pembinaan umat, yakni sebesar Rp. 787.880.000,-. Karena tanah pertapakan hasil jerih payah Pastor Paroki dan Dewan Paroki Parapat sudah tersedia dan pihak KAM bersedia membantu sebesar Rp 75.000.000,- maka dana yang kurang adalah Rp 680.880.000,-.
Kemudian pada tanggal 23 Maret 1999, P. Nelson memberitahukan dalam suratnya kepada pihak Missieprokuur bagaimana Komisi Keuangan KAM menanggapi rencana pembangunan tempat pembinaan umat di Paroki Parapat. Dikatakan bahwa pada bulan Februari 1999, Paroki Parapat mendapat dana subsidi dari KAM sebesar Rp 170.000.000,-. P. Nelson juga memberitahukan kepada pihak Missie Prokuur bahwa permohonan baru (perubahan gambar bangunan dan fluktuasi harga-harga bahan bangunan) telah disodorkan oleh pihak Paroki Parapat kepada Minister Propinsial Belanda yang sedang mengadakan kunjungan ke Biara Kapusin Parapat.
Karena merasa suratnya tidak dibalas oleh Missie Prokuur, pada tanggal 13 April 1999, P. Nelson kembali melayangkan surat dengan nomor istimewa. Surat yang dikirimkan berisi permohonan bantuan biaya sarana fisik Paroki Parapat. Diberitahukan juga bahwa ekonomi Indonesia sedang dililit oleh krisis moneter sehingga gambar bangunan sarana fisik Paroki Parapat mengalami perubahan. Nilai mata uang Rupiah juga tidak stabil sehingga bahan-bahan bangunan mengalami harga yang fluktuatif. P. Nelson berharap jika pihak Missie Prokuur bersedia menyumbang dana pembangunan, maka pada bulan Mei 1999 pihak PTK (Pusat Tekhnik Katolik) sudah siap memulai pembangunan.
Pada tanggal 14 April 1999, dengan hati yang berbunga-bunga, P. Nelson menerima surat balasan dari P. Huub Boelaars. P. Huub mengatakan bahwa Missie Prokuur telah mengadakan rapat pada tanggal 11 Maret 1999 dan memberikan catatan tentang rencana pembangunan sarana fisik Paroki Parapat. Catatan yang dimaksudkan adalah bahwa Missie Prokuur Propinsi Belanda akan memberikan bantuan secara bertahap kepada Paroki Parapat. Tahap pertama adalah memberikan bantuan dana pembangunan kantor paroki sebesar f. 80.000 (f. 1= Rp 4.500,-). Keputusan ini sesuai dengan nasehat Br. Anianus Snik (kepala pertukangan PTK) yang sudah dihubungi terlebih dahulu. P. Huub juga memberitahukan bahwa sumbangan sebesar f. 80.000 tersebut akan ditransfer ke rekening ekonomat KAM atas nama P. Paulinus Simbolon, OFMCap, saat Paroki Parapat membutuhkannya.
Tanpa menunggu waktu lebih lama, pada tanggal 4 Mei 1999, P. Nelson mengirimkan surat kepada Ekonom KAM, P. Paulinus Simbolon, OFMCap. surat tersebut berisi permohonan supaya P. Paulinus segera memberitahukan kepada P. Huub bahwa sudah waktunya Paroki Parapat membutuhkan dana sumbangan sebesar f. 80.000 yang pernah dijanjikan oleh Missie Prokuur. P. Paulinus juga bekerja dengan cepat sehingga pihak Missie Prokuur tanpa menunggu waktu lama telah mentransfer dana sumbangan yang dibutuhkan Paroki Parapat. Kepastian bahwa dana sumbangan telah berada di rekening Ekonomat KAM diberitahukan oleh P. Nelson kepada P. Huub dalam suratnya tanggal 28 Mei 1999.
Kapan Persis Pembangunan Dimulai?
Pada akhir September 1998, Komisi Keuangan KAM datang ke Parapat dan menanyakan perihal apa yang harus dibangun. Pihak Pastor Paroki bersama dewannya menerangkan dengan baik bahwa bangunan yang akan dibangun adalah sarana pembinaan umat yang menjadi pusat pembinaan umat. Pihak paroki tidak mau seluruh pembangunan diserahkan secara utuh kepada pihak PTK (Pusat Tekhnik Katolik) karena akan muncul kesulitan baru menyangkut keuangan dari Missie Prokuur Belanda. Kapan persis pembangungan dimulai? Dari surat P. Nelson kepada P. Huub Boelaars kita dapat mengetahui bahwa rencana pembangunan akan dimulai pada bulan Mei 1999, karena pihak PTK telah siap untuk itu. Kapan persis? Agaknya masih sulit menemukan data yang akurat. Yang jelas, sesudah P. Nelson pindah ke Paroki St. Pius X Aek Kanopan, pembangunan masih belum selesai dan dilanjutkan oleh P. Arie van Diemen, OFMCap.
Sesudah P. Arie van Diemen menjadi pastor paroki, tugas yang tergolong rumit dan kadang membosankan adalah membenahi setiap ruangan dengan perabot yang tepat. Setelah mengadakan perhitungan global, pada tanggal 1 Maret 2001, Bruder Felix Tumanggor dari pihak PTK mengirimkan surat yang berisi taksasi biaya perabotan PPU Parapat kepada Pastor Paroki Parapat. Total biaya perabot yang dibutuhkan PPU Parapat adalah Rp 111.267.000,-. Biaya ini antara lain digunakan untuk perlengkapan lemari, kursi, meja, tempat tidur, rak, lemari arsip, white board, perabotan memasak, dan lain-lain. P. Arie menindaklanjutinya dengan melayangkan surat permohonan pembenahan perlengkapan gedung kepada Ekonom KAM. Jumlah uang yang dipinjam adalah Rp 45.000.000,-. Kekurangan yang lain akan ditalangi oleh pihak sponsor terutama Missie Prokuur Capucijnen Belanda.
Bagaimana Selanjutnya?
Di sana-sini batu sisa bangunan masih berserakan. Parit saluran limbah dapur masih belum beres sepenuhnya. Potongan-potongan papan dan broti masih teronggok di gudang bekas barak para tukang. Pasir dan kerikil tercecer di mana-mana. Semua itu akan dirapikan di kemudian hari dan pasti akan berguna untuk melanjutkan pembangunan kapel di lantai atas beberapa waktu yang akan datang. Yang jelas, gedung sarana pembinaan umat sudah berdiri dengan megah dan perlengkapan fasilitas interior sudah mulai dibenahi. Gedung ini harus segera dioperasikan.
Pada tanggal 20 Mei 2001, gedung PPU KAM Paroki St. Fidelis Parapat diresmikan penggunaannya. Pada saat pesta pemberkatan, seluruh umat Paroki Parapat dilibatkan. Panitia juga mengundang gereja-gereja tetangga (HKBP, HKI, GKPS), Pemda Tingkat II Simalungun, para pengusaha hotel dan penginapan di sekitar Parapat serta para pengusaha angkutan umum. Dana yang masuk ke kas panitia pesta mencapai Rp 26.614.850,-
Pengelolaan Lanjut dan Kerjasama Dengan Suster KYM.
Atas permintaan RP. Nelson Sitanggang, OFMCap, pimpinan KYM pada bulan Juni tahun 2000 mengutus Sr. Imelda Harianja, KYM untuk berkarya di PPU Parapat. Selain mengurus PPU, Sr. Imelda juga turut berkarya di CU Tao Toba Parapat. Atas semangat kerjasama yang baik dengah pihak suster KYM, secara bertahap PPU dibenahi.
Selanjutnya RP. Nelson Sitanggang, OFMCap digantikan oleh RP. Arie van Diemen, OFMCap sebagai pastor paroki Parapat dan sekaligus penanggungjawab utama PPU. Apa yang sudah dimulai oleh Pastor Nelson dilanjutkan oleh Pastor Arie dan Sr. Imelda dengan baik. Pembangunan tetap berlanjut dan P. Arie berusaha mencari dana maka pembangunan PPU pelan-pelan semakin bertambah pembenahannya. Perabot dan segala perlengkapan juga dibenahi. Untuk kebutuhan tersebut Pastor Paroki mendapat pinjaman uang dari ekonom KAM.
Untuk menghemat biaya sprey dan sarung bantal suster dengan semangat pengabdian menjahitnya sendiri. Sermon para pengurus gereja dan kursus- kursus pun semakin diintensifkan. Sermon para pengurus biasanya mulai hari jumat s/d hari Sabtu. Suster juga harus terlibat dalam memberikan materi sermon dan kursus-kursus. Maka Pastor Paroki mengusulkan agar suster tidak boleh masuk kantor CU lagi pada hari Sabtu karena paroki membutuhkan tenaganya. Setiap hari Minggu dan pada hari lain juga suster ke stasi mengikuti ibadat dan doa-doa lingkungan. Terkadang harus bermalam beberapa malam karena kursus juga diadakan di rayon seperti di Tanjungan dan Rayon Sibisa dan rayon lain. Peminat pemakai PPU juga semakin terasa kendala karena pemimpin retret harus peserta yg mengusahakan sendiri.
Pada permulaan keuangan PPU diurus langsung oleh Dewan Pastoral Paroki tetapi kemudian RP. Marianus Manullang, OFMCap pengganti sementara Pastor Arie mengambil kebijakan bahwa keuangan PPU langsung diurusi oleh Sr. Imeda Harianja, KYM dan setiap bulan dilaporkan secara rinci dalam rapat dewan paroki.
Selain mengurus PPU, peranan suster juga bervariasi di paroki Parapat. Terkadang suster harus bermalam di Tuktuk, Tomok, Hutagurgur dan Pangaloan untuk karya pastoral paroki. Para pengurus lingkungan di stasi ini sangat mengharapakan bantuan Sr Imelda dalam mendampingi mereka dan umat dalam doa lingkungan mereka.
Biasanya suster berangkat dengan kapal trip terakhir dari Tigaraja dan kembali dengan kapal trip pertama hari berikutnya. Dari hati yg tulus Sr. Imelda bersyukur kepada Tuhan dan paroki Parapat yang mengijinkan suster beberapa tahun boleh berkarya di paroki Parapat. Limpah terimakasih kepada saudara-saudari yg sempat menjadi teman kerja di Parapat. Pada Juli tahun 2006 Sr. Imelda Harianja, KYM mengakhiri tugas di PPU Parapat dan mendapat tugas perutusan baru.
Selanjutnya pada Juli 2006 Sr. Priska Purba, KYM (Almarhumah) menggantikan Sr. Imelda Harianja, KYM. Penampilan suster ini sangat sederhana, ramah, pekerja keras. Beliau senang berkebun dan hasil perkebunanya dipergunakan untuk pengembangan PPU seperti sayur-mayur, cabe dll. Pekarangan pun ditata penuh pengabdian. Suster Priska mengakhiri masa pengabdiannya di PPU Parapat pada bulan Februari 2008.
Pada bulan Februari 2008 Sr. Scolastika Munthe, KYM hadir di Parapat untuk menggantikan Sr. Priska Purba. Mengingat makin banyaknya pihak yang meminati PPU Parapat maka pengadaan gengset sudah mendesak harus dibuat. Dengan demikian, kegiatan bisa berjalan jika listrik padam. Maka pada bulan April 2008 gengset pun dipasang atas anjuran suster ini.
Demikian juga Pengadaan Panggung. Dalam Rapat Dewan Paroki, pengadaan Panggung menjadi sangat alot dibicarakan karena pihak paroki cukup membutuhkannya. Hal ini terutama demi keperluan paroki tidak terutama untuk kebutuhan PPU. Dewan Paroki melihat bahwa PPU adalah milik Paroki, jadi semua pendapatan PPU untuk kepentingan Paroki. Dengan demikian antara pengelola PPU dan dewan paroki tidak sepaham. Walaupun demikian akhirnya Panggung ini dibangun. Melihat kondisi yang kurang mendukung ini pastor Paroki RP. Donatus Marbun, OFMCap mengembalikan kebijakan pengelolaan kepada pihak Keuskupan Agung Medan teristimewa pengelolaan keungan PPU.
Seterusnya pengadaan parkiran pun dilihat sebagai salah satu kebutuhan untuk paroki dan juga untuk kebutuhan PPU. LCD/Projector Tosiba juga dibeli mengingat tingginya minat masyarkat dalam pemanfaatan PPU. Pembenahan Lainnya (Kapel dengan karpet dan penambahan sprei). Dan alat-alat dapur juga dalam perjalanan waktu dibenahi.
Demikianlah suster Scolastika Munthe, bersama pastor paroki pelan-pelan membenahi berbagai fasilitas PPU seturut kebutuhan dan perkembangan pelayanan di PPU ini sampai Beliau mengakhiri masa pelayanannya pada bulan Februari 2010.
Suster Scolastika digantikan oleh Sr. Angelina Sinaga, KYM. Dengan semangat yang masih muda Suster ini pun tetap berusaha dan memberikan pelayanan yang terbaik. Sebegitu bersemangat terkadang lupa menjalankan komunikasi dua arah. Pelayanan tetap berjalan dengan baik dan di sana sini terlihat kemajuan. Pada bulan Juni 2012 sebagai penerus Karya Kongregasi maka Sr. Angelina mendapat tugas perutusan baru. Ia melanjutkan Studi dan harus cepat-cepat meninggalkan PPU karena tuntutan perkuliahan. Satu bulan berikutnya baru ada pengganti yakni Sr. Hilaria Sinaga, KYM.
Tepatnya tanggal 10 Juli 2012, Sr. Hilaria Sinaga mulai bekerja di PPU Parapat. Lima bulan pertama suster ini bekerja sama dengan baik dengan RP. Donatus Marbun, OFMCap selaku Pastor Paroki. Dan pada bulan November 2012 RP. Donatus Marbun, mendapat tugas perutusan baru, dan sebagai penggantinya RP. Christian Lumban Gaol, OFMCap.
Sr. Hilaria mengakui bahwa pada hari-hari pertama rasanya belum siap karena timbul dalam pikiran tidak ada bekal dan ketrampilan untuk tugas itu, hanya modal siap diutus dan kemauan saja. Walaupun begitu mencoba beradaptasi, mencoba melihat, mengenal, menyesuaikan diri, bertanya, berkomunikasi satu sama lain. Sudah pasti pengalaman kerja dengan kedua Pastor berbeda sesuai dengan karakrer masing-masing. Yang satu sangat terlibat dan proaktip dan tegas, sedang yang satu lagi lebih santai, kita sendiri yang harus banyak bergerak dan Beliau mengikuti sejauh perlu, yang jelas dengan keduanya bisa bekerjasama.
Dalam kurun waktu Juli – Desember 2012 dengan semangat kerja sama dengan RP. Donatus Marbun, suster ini memperindah lokasi depan PPU dengan membuat ukiran dan tulisan di depan kantor paroki dan knopi di teras dapur juga dipasang. Dan pada bulan November, demi kebutuhan yang sangat mendesak sumur bor juga dibuat dengan biaya yang cukup besar. Air minum dengan memakai alat dispensir di setiap gang yang strategi dan di setiap ruangan VIP juga dibuat. Dan untuk keperluan transportasi belanja dan kepentingan lainnya mobil Pick-up L 300 pun dibeli pada bulan Desember 2012 dengan harga Rp 190.000.000. Selanjutnya seperangkat alat musik tradisional juga dibeli. Tapi sayang alat musik ini kurang dapat dipergunakan berhubung para pemainnya tidak selalu ada. Proyektor cadangan pun difasilitasi untuk antisipasi keperluannya dan demi menjaga kerusakan yang proyektor yang pertama. Spring Bed dan Lemari File juga dibeli. Gua Maria juga ditata dan lampu hias di kapel dibenahi.
Kurun waktu Januari – Desember 2013: Kulkas merek Politron disediakan untuk penyimpanan belanjaan dapur teritimewa untuk peserta yang besar dan beberapa hari. Bantal, kain dekorasi sesuai warna liturgi dilengkapi juga.
Kurun waktu Januari – Desember 2014 : Untuk menjamin air minum bersih dan segar serta untuk menghindari pembelian air minum yang mahal maka alat untuk penyulingan air minum dibeli dengan nama RO. Pada bulan Mei, Gua Mari semakin disempurnakan sampai menelan biaya Rp 33.414.650 sebagaimana yang terlihat sekarang. Pada bulan Juni 2014 ketika mau belanja ke Pematangsiantar pada pagi hari Sr. Hilaria dan Tigor Sitorus (supir PPU) mengalami kecelakaan di Sibaganding. Tiba-tiba mobil menabrak tebing gunung batu dan mobil mutar balik arah dan hampir terjun ke Sibaganding. Kaca mobil berhamburan kepangkaun suster dan supir tapi rupanya Malaikat Tuhan menatang mereka sehingga tidak jadi terjun ke jurang. Perbaikan mobil selama 1 bulan di bengkel dengan biaya Rp 7.500.000. Pada bulan yang sama atap PPU dicat ulang dengan biaya Rp 13.990.000 walau tidak terlalu bagus karena gampang terkelupas. Selanjutnya kapel juga dibenahi agar sesuai dengan kebutuhan liturgi dengan menambah pengimaman dengan penyekatan kiri-kanan sekaligus ruangan peralatan liturgi dengan biaya Rp 13.470.000. Pada tanggall 3 Oktober 2014 salah satu Umat dan sekaligus pengurus lingkungan memohon dengan sangat kepada Pastor Paroki untuk meminjam uang dari Paroki karena pada hari itu petugas Bank mau menyita tanah yang diagunkan waktu meminjam. Karena merasa terdesak dan terancam, uang PPU yang dipinjamkan dengan perjanjian 3 bulan sebanyak Rp. 21.000.000. Alhasil sampai hari ini serah terima belum lunas masih sisa Rp. 16.000.000. Dengan susah payah sudah ditagih tetapi hasil sangat tidak memuaskan dan ini menjadi salah satu beban bagi kami dan merupakan kegagalan. Pada bulan Desember 2014 berhubung Sepeda Motor GL semakin sering rusak maka diupayakan untuk dijual dengan harga Rp. 4.000.000 dan kemudian dibeli yang baru Honda Mio Rp. 14.470.000 yang sangat cocok dipakai kalau belanja banyak muatanya. Peserta yang mengadakan kegiatan bermalam tdk termasuk yang peserta 1 hari seperti peserta RAT CU dan pelepasan Natal TK Sebanyak 2256 orang.
Kurun waktu Januari – Desember 2015: Jumat kelabu tgl 3 Juli 2015 ketika ada pertemuan Guru Agama SD Negeri di PPU yang diadakan Bimas Katolik, suster Hilaria Sinaga hendak menyiapkan peralatan ekaristi di kapel, tapi karena masih ada waktu tersisia maka pada jam 05.45 disempatkan sebentar menyiram bunga yang sedang bertumbuh dibatu-batuan dibelakang Gua Maria. Tapi saat naas tak bisa ditolak. Ketika sedang menarik selang siraman, kaki suster menyentuh pot bunga dan jungkir balik ke tangga paling bawah dan tergeletak di sana. Badan babak belur, patah tulang bahu, tulang punggung, pinggang dan bagian yang lain luka-luka. Dua jam kemudian 2 jam baru bisa dievakuasi ke atas. Tidak ada yang melihat kejadian itu. Singkatnya suster tidak jadi mati, rupanya Tuhan masih membiarkan/merelakan hambanya untuk barkarya. Sebenarnya sejak jatuhnya dokter sudah menyarankan tidak boleh mengangkat yang berat lebih dari 3 kg dan tunduk dan harus istirahat yang benar. Tetapi tenaga pengganti belum ada maka jalan terus walau tetap terasa sakit. Suster pekerja keras ini tetap kerja. Belia menganggap itu merupakan physiotherapi.
Bersamaan dengan peristiwa itu dimulai juga penambahan kamar makan. Sebab kalau peserta berjumlah di atas 80 orang, PPU tidak muat. Saatnya sudah harus menambah beberapa kamar. Lalu P. Christian mencari tukang yang dikepalai Bapa Sinambela. Pihak PPU yang menyediakan material sedang tukang mendapat gaji harian. Dalam 7 bulan bangunan rampung dengan; 1 kamar makan kecil muat 16 orang, 1 kamar makan sedang yang bisa menampung 45 orang, 3 kamar tidur VIP, dan 1 kamar untuk penyimpanan alat-alat tenun. Penembokan di bagian belakang yang sampai saat ini belum tuntas 100%. Kamar mandi luar 2 unit. Dana yang habis untuk bangunan, mobilernya dan penembokan, Rp. 474.776.500. Dan pada September 2015 RP. Christian Lumbangaol OFMCap mendapat tugas perutusan baru maka beliau digantikan RP. Hiasintus Sinaga, OFMCap dan Ex-officio menjadi Direktur PPU Parapat. Jumlah peserta sampai pada saat ini sebanyak 2475 orang.
Kurun Waktu Januari – Desember 2016: Berhubung saat-saat tertentu peserta bisa mencapai 300 seperti pelepasan T.K Bintang Timur, RAT CU Tao Toba maka perlu penambahan kursi pada Februari 2016 ditambah 108 buah kursi plastik Rp. 11.600.000. Jemuran kain juga dilihat perlu untuk peserta yang menginap beberapa malam. Maka setelah disurve tempat yang masih ada untuk itu adalah teras lantai 4. Akses ke tempat jemuran perlu juga dibuat berupa tangga rak jemuran. Biaya untuk ini Rp 7.500.000. Pada bulan April 2016, plakat nama PPU dengan lampu Neon Box di tepi jalan raya diganti berhubung karena plakat lama sudah kusam dan sudah sangat tak laik pakai. Harganya Rp 1.800.000. Rice-Cooker besar untuk memasak nasi lebih mantap dan cepat dan lebih irit pada bulan yang sama dibeli dengan harga Rp. 1.760.000. Demi ke asrian taman bagian dalam maka rak tempat bunga ditambah 1 tingkat lagi dan dibuat tempat gantungan bunga anggrek dengan biaya pembuatan Rp. 2.600.000 sedang untuk beli bunga dan pot serta perangkatnya Rp. 2.350.000. Keseluruhan pembenahan ini sungguh merupakan hasil kerjasama dan koordinasi yang baik dengan RP Hiasintus selaku pastor paroki dan penanggungjawab utama PPU. Jumlah peserta Januari-Oktober 2016 sebanyak 2171 orang. Tantangan yang dialami sebagai pengelolala PPU Parapat diakui suster ini cukup berat. Namun demikian melihat di sana-sini terdapat kemajuan maka terasa juga ada kepuasan batin. Banyak juga kenalan baru dari berbagai kalangan bukan hanya yang dari Katolik juga dari non Katolik seperti pendeta-pendeta dari kalangan Protestan, sekolah-sekolah Negeri dan Swasta lain. Dari berbagai tempat yang jauh dan dekat dapat dilayani dengan penuh pengabdian. Dari luar Sumatera juga ada yang datang dan bahkan dari manca negara. Hal ini semakin memperkaya pengalaman. Syukur, menyenangkan, pernah bertugas di PPU Parapat, apalagi dapat bekerjasama dengan baik dengan para Pastor Paroki, pastor rekan dan pastor dari biara Novisiat Parapat. Keakraban berjalan dengan sehat dan membangun.
Sesudah lebih 1 tahun menunggu, akhirnya suster yang hendak menggantikan Sr. Hilaria Sinaga tiba juga. Suster itu adalah suster pindahan tugas dari Surabaya yakni Sr. Florida Mai, KYM. Setelah kurang lebih satu tahun Sr. Florida berada di Parapat maka tepat pada tanggal 1 November 2016 di hadapan RP Hiasintus Sinaga, OFMCap selaku Pastor Paroki diadakan serah terima tugas.
Inilah urutan masa bakti para pastor paroki dan para suster yang menangani pengelolaan PPU Parapat: (1) Tahun 1996 – 2000 : RP. Nelson Sitanggang, OFMCap; (2) Tahun 2000 – 2007: RP. Arie van Diemen, OFMCap; (3) Tahun 2007- 2009 : RP. Samuel Aritonang, OFMCap; (4) Tahun 2009 – Nov 2012 : RP. Donatus Marbun, OFMCap; (5) Mulai dari Desember 2012 – September 2015 : RP. Christian Lumban Gaol, OFMCap; (6) Sejak September 2015 – Sekarang (November 2016) : RP. Hiasintus Sinaga, OFMCap. Sedangkan para suster KYM yang berkarya di PPU ini adalah: (1) Sr. Imelda Harianja, KYM (tahun 2000 – Juli 2006); (2) Sr. Priska Purba, KYM (Juli 2006 – Pebruari 2008); (3) Sr. Scolastika Munthe, KYM (Pebruari 2008 – Pebruari 2010); (4) Sr. Angelina Sinaga, KYM (Juli 2010 – Juni 2012; (5) Sr. Hilaria Sinaga, KYM (Juli 2012 – 1 November 2016); (6) Sr. Florida Mai, KYM (1 November 2016 sampai 05 Juli 2018).
Setelah Sr. Florida merampungkan laporan pertanggujawaban pelayanannya selama di PPU, maka Pastor Hiasintus Sinaga, memanggil Sr. Annie Marie Nadeak, KYM untuk turut hadir mendengar dan menyimak laporan pertanggungjawaban Sr. Florida, KYM. Pertemuan pertanggungjawaban ini diakhiri dengan penandatanganan Berita Serah Terima Pengelolaan PPU Parapat dari Sr. Florida Iba, KYM kepada Sr. Annie Marie di hadapan RP. Hiasintus Sinaga, pada tanggal 05 Juli 2018. Terimakasih Sr. Forida dan Selamat Berkarya di tempat baru di Asrama Putra Putri Rantau Prapat. Selamat datang dan selamat bekerja kepada Sr. Annie Marie Nadeak, KYM).
Refleksi
Ada sebuah pepatah Rusia berbunyi, “Orang yang berkubang dalam rasa malunya akan kehilangan sebelah matanya, tetapi orang yang melupakan masa lalunya akan kehilangan kedua belah matanya”. Karena itu, manusia mempertahankan kedua belah matanya. Manusia akan mengalami kesulitan untuk melihat ke mana dia melangkah, bila penglihatannya terganggu. Dengan kata lain, masa lalu Gereja mengandung nilai-nilai peradapan Kristen sebagaimana terpancar dalam iman tetapi juga memiliki masa yang sulit, gelap dan melelahkan.
Paroki St. Fidelis Parapat boleh berbangga karena telah memiliki gedung megah dan permanen sebagai tempat pembinaan iman umat dan aneka olah rohani lainnya. Kebanggaan itu disertai oleh tugas. Kita boleh bangga, tetapi kebanggaan itu menuntut kita untuk segera bekerja. Gedung yang bagus dan mahal serta dikerjakan dengan keringat yang tidak sedikit harus dibarengi dengan penggunaan dan pemanfaatannya yang seimbang. Gedung yang bagus tidak otomatis menjadikan umat beriman semakin matang dan dewasa.
Kehidupan Gereja di Paroki Parapat terasa sangat dinamis. Umat berpartisipasi aktif mengembangkan Gereja. Umat mempunyai kesadaran bahwa pusat paroki mereka berada di jalur strategis. Paroki Parapat sudah lama ada, gampang dilihat, dan jika mau, mudah tampil dan mudah bersuara. Peran awam sejak awal juga sudah menonjol dan terus menguat baik di stasi-stasi maupun di lingkungan-lingkungan. Sejak dulu, sermon, kursus, pelatihan keterampilan, rapat paroki, retret dan pendalaman iman lainnya sudah menjadi bagian penting paroki. Tambahan lagi kehadiran Biara Kapusin Parapat sungguh menggarami dan memberi warna bagi kehidupan iman umat.
Partisipasi aktif umat ini harus tetap dijaga dari “beruang berbulu domba”, dipupuk jika pertumbuhannya lambat dan disiangi jika “ilalang tumbuh menghimpitnya”. Kehadiran PPU Parapat menjadi langkah pertama untuk mewujudkan cita-cita tinggi yakni penggembangan iman kekatolikan.
Penutup
Seraya menatap ke masa depan, umat Paroki Parapat juga perlu mengingat masa lalu. PPU Parapat didirikan bukan tanpa perjuangan dan pengorbanan. Kiranya perjuangan dan pengorbanan itu tetap lestari lewat kesediaan umat menjadi pemain utama dalam pengembangan iman. PPU Parapat harus menjadi tempat yang paling cocok untuk sharing iman. PPU Parapat harus menjadi wadah untuk mendalami dan mempribadikan iman kekristenan, memoles dan mengasahnya sehingga makin cemerlang dengan muatan yang lebih indah dan kaya di tengah dunia yang semakin sekuler.
Sungguh kami mengucapkan banyak terimakasih kepada kedua pastor kita RP Daniel Sitanggang, OFMCap dan RP Roy Nababan, OFMCap atas kerja keras dan ketelitian mereka mengumpul data secara jujur. Kami sangat yakin bahwa uraian keberadaan PPU ini akan sangat berguna ke hari-hari depan sebagai bahan pelajaran untuk semakin mengembangkan PPU ini. Dan semoga geliat keberadaan PPU ini tetap dapat direkam secara berkesinambungan dari waktu ke waktu. Niarit ma tarugi, bahen mangarusuhi porapora; Nunga sude hita dapotan uli, ala olo marlojaloja. Salam