Situasi Awal
Pada tahun 1948 P.Diego Van den Biggelaar OFMCap datang ke Parapat untuk memperkenalkan dan menyebarkan tentang ajaran agama katolik. Sebelum ke Parapat, beliau telah mendirikan di Stasi di Girsang. Kedatangan pastor tersebut disambut baik oleh masyarakat Girsang. Dari Girsang beliau ke Parapat karena di Girsang sudah ada Pastoran yang sederhana.Kedatangan pastor tersebut disambut baik oleh masyarakat Parapat. Pastor dan masyarakat sepakat mendirikan gereja. Untuk mewujudkan impian tersebut, Pastor menyuruh bapak Pendeta Kenan Hutabarat untuk mencari tanah pertapakan tempat gereja akan didirikan. Bapak Pendeta Kenan Hutabarat menemukan tanah dan membeli tanah itu (PPU sekarang) dari Bapak Op. Gokman Sinaga, Op. Tunggul Sinaga dan bapak Padang Sinaga. Namun setelah dilaporkan kepada P.Biggelaar OFMCap, Pastor tersebut kurang setuju dengan lokasi yang telah dibeli. Tanah tersebut tidak rata maka sempat ditelantarkan. Pastor kembali meminta bapak Pendeta Kenan Hutabarat untuk mencari tanah yang lebih strategis. Maka pada tahun itu juga ditemukanlah tanah tempat gereja beserta bangunan yang sudah siap pakai yakni di Dolok Pangulu (Aula di belakang gereja sekarang).
Masa Pembangunan Fisik Gereja
Bangunan yang telah ada masih sangat sederhana, akan tetapi dapat di gunakan sebagai tempat beribadat. Bangunan tersebut diberi nama Rumah Ijuk karena atapnya masih terbuat dari ijuk dengan ukuran 6×7 m. Selama 3 tahun kegiatan menggereja dilakukan di rumah ijuk. Pada masa tentara jepang datang ke Indonesia rumah ijuk terbakar. Meskipun demikian, semangat umat tidak pernah berhenti untuk mempertahankan iman yang mereka percayai dan yang telah mereka bina selama ini. Peristiwa kebakaran menuntut untuk mengganti atap menjadi seng. Setelah beberapa tahun berada di bangunan gereja yang sangat sederhana P.Jenniskens OFMCap selaku pastor paroki pertama di Parapat membeli tanah untuk tempat mendirikan gereja yang lebih layak karena melihat bangunan sebelumnya tidak dapat menampung jumlah umat yang semakin berkembang. Pada tahun 1958 dibagun gereja permanen.
Kepengurusan dan Perkembangan umat
Setelah berdiri gereja umat sepakat untuk menentukan vorhanger yang akan memimpin kegiatan dalam gereja katolik. Maka yang terpilih adalah bapak marga Manurung dimana beliau adalah seorang katekis yang mengajar (guru) di Ajibata dengan jumlah umat sebanyak 10 KK. Selang beberapa tahun umat bertambah menjadi 30 KK. Selama beberapa tahun bapak tersebut yang memimpin kegiatan menggereja sebelum dilakukan pemilihan vorhanger yang baru. Ketika pembangunan gereja permanen jumlah umat semakin berkembang mencapai 60 KK. Setelah beberapa tahun dilakukan pemilihan vorhanger yang dianggap mampu memimpin umat yang ada di stasi Parapat.
Susunan vorhanger yang pernah menjabat adalah sebagi berikut: Pain Petrus Sinaga, H. Manurung, Unggal Bakkara, RP. Sinaga, Ranap Sirait menjabat selama 3 periode, Kesman Nainggolan, dan Jaspenan Sitinjak (2009-2014).
Umat di stasi Parapat terus berkembang dan sekarang mencapai 325 KK dengan jumlah jiwa 1800 orang. Karena perkembangan tersebut maka stasi dibagi menjadi 9 lingkungan yakni: Lingk St. Maria, lingk St. Petrus, lingk St. Paulus, St. Mikael, Lingk St. Antonius, Lingk St. Alfonsus, Lingk St. Thomas, Lingk St. Yakobus, dan Lingk St. Yosef.