Situasi Awal
Pada tahun 1935, bapak Johanes Nadapdap bersama dengan anak perempuannya berkeinginan kuat agar Gereja Katolik berdiri di kampung Sosor Pea Sibisa. Untuk merealisasi hasrat tersebut, mereka menghadap P.Van Rossum yang berada di Balige seraya mohon agar Gereja Katolik didirikan di kampung Sosor Pea Sibisa. Pastor Van Rossum tidak keberatan atas kehendak baik mereka dan menanggapinya dengan baik serta mendukung keinginan mereka. Seiring berjalannya waktu berdirilah gereja darurat tahun 1935 yang pada saat itu masih berlantai tanah, tiang bambu, dinding nipah dan beratapkan ilalang. Dan pada saat itu jumlah umat sudah mencapai sebanyak 10 KK. Tidak terasa waktu berlalu umat pun semakin berkembang pesat sehinnga pada tahun 1936 jumlah umat katolik sudah mencapai 40 KK. Sejak saat itu P.Van Rossum sering mengadakan kunjungan pastoral ke kampung Sosor Pea Sibisa dengan menggunakan motor pit.
Melihat perkembangan ini P.Van Rossum optimis, bahwa masa depan Gereja Katolik di kampung Sosor Pea Sibisa cukup cerah. Pastor tersebut mendirikan sekolah untuk mengajari umat yang buta huruf khusus untuk umat Katolik. Tenaga pendidik adalah bapak JB Butar-butar dan bapak Benyamin Manurung yang berasal dari Balige.
Pembangunan Fisik Gereja dan Perkembangan Umat
Umat terus bertambah. Gereja didirikan di desa Parsaoran Sibisa dengan ukuran 6 x 12 meter. Bangunan Gereja pada saat itu berbentuk panggung. Didirikan juga Sekolah Rakyat tetapi hanya sampai kelas 3 SD saja. Pada saat itu bapak Benyamin Manurung membujuk Jahiram Nadapdap (A Melim) untuk menjadi vorhanger dimana ia juga sempat menjadi guru agama walaupun masih honor.
Masuknya pasukan Jepang tahun 1942, Gereja mengalami gangguan, bahkan sempat ditutup. Umat berinisiatif memindahkan kegiatan ibadah ke Sopo Bolon yang ada di Sosor Pea dan bangku sekolah dipindahkan ke Sigapiton. Tetapi sebagian umat sudah ada yang pindah ke Protestan. Tantangan yang datang dapat dihalau dan disingkirkan oleh umat dan penatua-penatua Katolik yang ada di Sibisa. Sejak tahun 1945, gereja panggung dibuka kembali. Umat yang sempat pindah ke Protestan kembali ke Katolik. Pada tahun 1955 jumlah umat sudah mencapai 70 KK.
Pada tahun 1989 umat di stasi Sibisa berkurang sebanyak 5 KK sehingga menjadi 65 KK. Alasan inilah membuat umat yang tinggal di Onan Sampang berinisiatif untuk melakukan pemekaran. Hal itu pun terjadi sehingga, stasi Sibisa telah dimekarkan menjadi 2 stasi yaitu stasi Sibisa itu sendiri dan Onan Sampang. Dengan demikian jumlah umat stasi Sibisa menjadi 35 KK.
Pembangunan Gereja Semi Permanen
Pada tahun 1970 Gereja direhap kembali dengan ukuran 8x16M. Dalam pembangunan gereja tidak mengalami hambatan. Pada tahun 1972 gereja diresmikan oleh P.Jenniskens. Di tahun 1975 kampung Sosor Pea Sibisa mengalami kebakaran dan gereja terbakar habis. Namun, bangunan sekolah buta huruf tidak terbakar. Hingga sekarang bangunan itu masih ada namun tidak terawat.
Vorhanger yang Pernah Berkarya dan Jumlah Umat Sekarang
Jahiram Nadapdap (1936-1968), Adatua Nainggolan (1968-1989), Halomoan Nadapdap berkarya (1989-1990), Osman Manurung berkarya (1990-1992), Osmar Nadapdap (1992-sekarang). Para sintuanya: Osman Manurung, Rosmauli Manurung, Kristina Manurung, dan N.Rifaen Manurung. Jumlah umat sekarang sebanyak 35kk dengan jumlah jiwa 184 orang.